20 May 2013

0
Coal Bed Methane (CBM)


Coal Bed Methane (atau disingkat CBM) adalah suatu bentuk gas alam yang berasal dari batu bara (coal). Pada dasawarsa belakangan ini, CBM telah menjadi suatu sumber energi yang penting di Amerika Serikat, Kanada dan beberapa negara lain. Australia memiliki endapan CBM yang kaya yang dikenal sebagai coal seam gas (disingkat CSG).
Istilah CBM ini merujuk kepada gas metana yang teradsorbsi ke dalam matriks padat batu bara. Gas ini digolongkan "sweet gas" lantaran tidak mengandung hidrogen sulfida (H2S). Keberadaan gas ini diketahui dari pertambangan batu bara di bawah permukaan bumi yang kehadirannya menjadi sebuah resiko pekerjaan. Coal Bed Methane berbeda dari sandstone biasa dan reservoar konvensional lainnya, lantaran gasnya tersimpan di dalam batuan melalui proses adsorbsi. Metananya berada dalam keadaan yang hampir cair di sekeliling dalam pori-pori batu bara. Rekahan-rekahan terbuka di dalam batu baranya (yang disebut cleats) dapat pula mengandung gas atau terisi/tersaturasi oleh air.
Tidak seperti gas alam di reservoar konvensional, Coal Bed Methane sangat sedikit mengandung hidrokarbon berat seperti propana atau butana dan tidak memiliki kondensat gas alam. Ia juga mengandung beberapa persen karbondioksida.


Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.
Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gasdevonian shale gas, dan gas hydrateHigh quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas.

Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rockCBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan tekanan). 
Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses produksi ini.

Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.
Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.
Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

Pengembangan Coalbed Methane (CBM) di Indonesia dilakukan atas kebijakan Pemerintah yang sudah dikeluarkan oleh Menteri ESDM sebagai terobosan atas menurunnya jumlah produksi minyak di Indonesia. Juga untuk membuktikan kebenaran dan menindak lanjuti hasil survei yang telah dilakukan oleh Konsultan Amerika (Stevens et al., 2001) tentang kemungkinan adanya potensi sumberdaya harapan CBM sebesar 337 tcf di Indonesia. Beberapa motivasi yang menjadi driver atas dilaksanakannya uji-coba pengembangan CBM di Indonesia meliputi:
  1. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi sebagai upaya pemulihan ekonomi nasional.
  2. Program langit biru sudah sangat mendesak untuk direalisasikan secara nasional.
  3. Meningkatnya konsumsi gas dunia harus diantisipasi dengan peningkatan pengusahaan gas alam secara komprehensif.
  4. Antisipasi kekurangan pasokan energi listrik di Sumatra Selatan pasca tahun 2008.
  5. Indonesia dengan potensi CBM yang sangat besar harus dapat dikerjakan oleh putra terbaik bangsa sendiri.

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai oleh sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam konvensional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoirnya. Sedangkan gas alam yang kita kenal saat ini, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku.
Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya dimana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan. Pengertian reservoir batubara masih baru dalam dunia perminyakan di CBM berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui beberapa proses kimia dan fisika (dalam bentuk panas dan tekanan secara menerus) yang berubah menjadi gambut dan akhirnya terbentuk batubara. Selama berlangsungnya proses pemendaman dan pematangan, material organik akan mengeluarkan air, CO2, gas metana dan gas lainnya. Selain melalui proses kimia, CBM dapat terbentuk dari aktifitas bakteri metanogenik dalam air yang terperangkap dalam batubara khususnya lignit.

CBM diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan kesetimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan akhirnya keluar menuju lobang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.

CBM mempunyai multi guna antara lain dapat dijual langsung sebagai gas alam, dijadikan energi dan sebagai bahan baku industri. Eksploitasi CBM tidak akan merubah kualitas matrik batubara dan menguntungkan para penambang batubara, karena gas emisinya telah dimanfaatkan sehingga lapisan betubara tersebut menjadi aman untuk di tambang, selain itu CBM ini termasuk salah satu sumber energi yang ramah lingkungan. 


Bagaimana dengan CBM di Indonesia?
Kontraktor migas VICO Indonesia bekerja sama dengan PT PLN berhasil mengembangkan gas metana batubara atau coal bed methane (CBM) untuk kelistrikan yang pertama di Indonesia.

Peresmian pengoperasian pembangkit listrik CBM pertama di Indonesia itu dilakukan di lapangan migas Mutiara yang dikelola VICO di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Selasa.

Menurut Presiden dan CEO VICO Indonesia, Gunther Newcombe pihaknya telah menandatangani MoU jual beli gas CBM dengan PT PLN pada akhir November 2011.

Dalam perjanjian disepakati VICO menyalurkan gas CBM ke pembangkit maksimum 0,5 million metric standard cubic feet per hari (mmscfd) hingga 31 Desember 2014.

Kontraktor asal Amerika Serikat (AS) ini memasok CBM dari Lapangan Mutiara di Kalimantan Timur untuk menggerakkan PLTMG CBM yang berkapasitas 2 megawatt (MW).

Investasi yang ditanamkan VICO Indonesia untuk pengembangan CBM kelistrikan sejak 2009 itu mencapai 200 juta dolar AS (hampir Rp2 triliun), kata Gunther Newcombe.

Harga jual gas CBM dipaatok pada angka 7,5 sen dolar AS per million metric british thermal units (mmbtu).

General Manager PT PLN wilayah Kaltim, Nyoman Astawa mengatakan bahwa pengoperasian pembangkit CBM ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pemakaian pembangkit BBM yang sangat mahal.

Biaya pembangkitan listrik dari CBM rata-rata Rp1.150 per kWh, sedangkan pembangkit solar bisa mencapai Rp2.600 per kWh.

Ia mengakui biaya produksi listrik dari CBM masih lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata pembangkitan listrik di Kaltim yakni Rp850 per kWh. 

Namun penghematannya bisa mencapai Rp1.400 per kWh dibandingkan pembangkit solar. "Jadi subsidi energi yang bisa dikurangi cukup besar," katanya.

Listrik yang dihasilkan dari pembangkit CBM ini cukup untuk memasok hingga 2.500 rumah.

"Pengoperasian pembangkit tersebut dilakukan melalui secara sewa dari pihak ketiga dengan harga Rp435 per kWh," ujar Nyoman Astawa. 

Sementara pada saat yang sama, Deputi Pengendalian Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Mulyawan mengatakan pengembangan CBM untuk kelistrikan nasional diarahkan bagi kemanfaatan warga masyarakat desa di sekitar wilayah kerja KKKS

"Kami berharap keberhasilan yang telah ditunjukkan VICO dalam mengembangkan gas non konvensional dapat mendorong pengembangan energi alternatif," katanya. 

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM, Naryanto Wagimin mengharapkan langkah VICO ini bisa diikuti oleh kontraktor PSC CBM lainnya. 

Pasalnya, dari 54 PSC CBM yang terdaftar baru sekitar lima persen (5-6 perusahaan) termasuk VICO, yang aktif mengembangkan program CBM bagi kelistrikan di pedesaan, katanya.

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dalam batu bara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi CBM di Indonesia mencapai 300 trillion cubic feet (TCF) hingga 450 TCF.


0 komentar: